Pengalaman Spiritual di Usia 25 Tahun
Selama 25 tahun diberikan kehidupan di dunia ini baru tadi pagi saya paham betul makna keikhlasan juga kesabaran pada momen Hari Raya Idhul Adha ini. Dulunya setiap lebaran haji tiba saya tidak begitu antusias menyambutnya karena memang tidak seramai seperti Hari Raya Idhul Fitri. Biasanya kalau lebaran haji setelah sholat baru motong hewan qurban dan kumpul bareng keluarga sambil masak sate beserta gulenya.
Namun sekarang saya mendapatkan pelajaran yang begitu berharga dari momen perayaan lebaran haji ini. Tiga bulan selepas vonis dokter kepada mama saya masih belum bisa menemukan arti ikhlas dan sabar sesungguhnya. Selama itupula setiap harinya sungguh terasa berat dan begitu menyedihkan untuk bisa saya lewati.
Ya, selama ini hanya bisa kuat dan tegar karena dukungan dari suami, bapak dan anak dalam kandungan. Sejak mama sakit rasanya tiang dalam hati saya roboh, saya tidak punya lagi sandaran hati dan tidak ada lagi semangat untuk menjalani hidup. Benar, saya sempat berada pada fase tersebut dan sampai sekarang pun saya masih berusaha untuk membangun hati yang sempat hancur.
Belajar Arti Keikhlasan, Kesabaran dan Ketegaran di Momen Hari Raya Idhul Adha
Hampir setiap hari saya harus mendengar dan melihat setiap keluhan mama, melihat beliau menahan rasa sakit terkadang mama suka bilang kalau mama sudah lelah juga bosan. Setiap kali itu juga saya mengumpulkan kekuatan untuk memberikan semangat kepada mama. “Mama harus kuat buat aku dan aku akan kuat buat cucu mama ini..”.
Sekarang setiap dua kali dalam seminggu mama harus pergi ke rumah sakit untuk menjalani terapi cuci darah. Sebuah kebiasaan baru bagi mama dan tentu bagi kami sekeluarga, sangat bertolak belakang dengan keadaan mama sebelumnya yang penuh semangat dan aktif. Sampai saat ini juga kami semua masih belajar untuk bisa ikhlas menerima takdir ini.
Contohnya saja yang terjadi pada hari ini, di saat semua umat Muslim bergembira merayakan lebaran haji mama harus pergi ke rumah sakit untuk cuci darah ditemani bapak. Sebelum beliau berangkat saya selalu menguatkan hati mama, “Sabar ya, Ma. Siapa tahu setelah ini mama bisa sembuh dan nggak harus cuci darah lagi..”.
Kalimat itu yang terus saja saya ulang demi memberikan semangat di dalam hati mama. Rasanya Allah seperti meminta saya untuk belajar dewasa dan mandiri, yang biasanya saya yang dikuatkan mama sekarang malah saya yang harus menegarkan hati mama. Mama tidak pernah mengeluh sekalipun kepada orang lain selain kepada saya.
Pernah terpikir dalam benak saya rasanya sudah tidak kuat lagi, hidup sendiri menjadi anak tunggal tanpa ada kehadiran saudara kandung yang bisa saya jadikan tempat berbagi karena sama-sama anak mama. Alhamdulillah, saya dikasih suami yang super tega suami yang membuat saya belajar keras untuk menjadi wanita yang tegar dan tidak boleh bergantung kepada siapapun kecuali kepada Allah.
“Mangkanya Mama itu jangan jadikan nomor satu tapi Allah yang harus kamu jadikan nomor satu..”. Begitulah isi pesan WhatsApp dari suami saat saya kembali down karena memikirkan kondisi mama. Awalnya saya sulit sekali untuk bisa menerimanya, diam-diam saya kagum dengan keistiqomahan suami dalam beribadah.
Saya kagum dengan sosok suami yang hampir tidak pernah terlalu memikirkan betul masalah dunia. Mas jarang sekali bersedih hanya karena hal-hal duniawi, suami saya paling mudah menangis jika ingat perkara akhirat. Itu yang menjadi motivasi saya untuk bisa memahami apa yang suami maksud dalam pesan WhatsApp beberapa waktu lalu.
Sudahkah Kita Menempatkan Allah Pada Posisi yang Utama Dalam Hidup?
Sekarang di momen lebaran haji setelah mendengar ceramah selepas sholat ied saya paham tentang arti keikhlasan, kesabaran juga ketegaran. Mengingat cerita Nabi Ibrahim as yang harus rela mengorbankan putra satu-satunya untuk disembelih. Allah ingin melihat dan menguji keimanan Nabi Ibrahim as beserta keluarga.
Sampai dimana besarnya rasa cinta kita kepada Allah, apakah kita sudah menaruh Allah pada posisi nomor satu dan diatas segala-galanya atau belum?. Pada hakikatnya kita diciptakan di dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah, kira-kira begitu penggalan ayat yang melekat dalam pikiran saya. Memang berat bahkan sangat berat untuk bisa membuktikan besarnya rasa cinta kita kepada Allah.
Tapi satu hal yang saya ingat dan selalu saya rasakan ialah perasaan tenang yang luar biasa ketika kita mengingat Allah bahkan dalam keadaan tersulit sekalipun. Hidup di dunia ini hanya untuk menjalankan ujian dan skenario Allah tidak untuk dinikmati betul sampai membuat kita lupa diri akan tujuan sesungguhnya.
Baca Juga : Opini, Masalah Mengantarkanmu Menjadi Pribadi Sebenarnya
Baca Juga : Opini, Masalah Mengantarkanmu Menjadi Pribadi Sebenarnya
Semua kebahagian, kemudahan, kekayaan, kebaikan, bahkan kesedihan yang ditimpakan pada kita adalah ujian dari Allah tidak lebih dari itu. Semuanya tidak abadi jadi kita tidak boleh terlalu larut dalam kesenangan dan kesedihan di dunia ini. Yang kekal itu adalah kehidupan di akhirat nanti, tidak apa-apa berlelah-lelah di dunia mungkin saja kelak di akhirat nanti kita akan bertemu dengan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Sungguh dengan sakitnya mama memberikan pelajaran spiritual yang sangat luar biasa bagi saya, mendidik diri agar menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi dari sebelumnya. Menempatkan Allah pada posisi paling atas di dalam hati. Semuanya untuk Allah dan dari Allah, semoga Allah senantiasa ridho dengan semua kesedihan dan kesulitan yang kita alami.
Berbahagialah karena Allah selalu bersama dengan orang yang sabar dan janji Allah itu benar adanya.
8 komentar
Aku juga mengalaminya di usia segitu. Rasanya kaya gimana gitu. :') Tapi itu juga membuatku jadi lebih baik.
BalasHapusSemua sudah mbak lewati dan sekarang mbak masih baik-baik aja ya. Hebat :)
HapusBetul sekali, Mbak. Allah lah yang utama. Allah yang nomor satu. :') Tapi kenapa terkadang pikiran manusia masih menduakannya dengan hal bersifat duniawi? Kadang aku juga demikian. Tapi, kalau direnungkan kembali, ketentuan Allah memang yang terbaik. :)
BalasHapusKetentuan Allah sellau yang terbaik memang mbak :)
HapusTetap semangat mba
BalasHapusAku juga sering ngeluh, kenapa aku nggak punya saudara, Mbak, sama Allah. Saat orangtua sakit rasanya itu kalang kabut. Tapi, aku balik lagi ngomong sama diriku sendiri, bisa jadi Allah mentakdirkan semua ini karena akulah orang yang tepat.
BalasHapusBener banget mbak momen Idul Adha ini harus memngingatkan kita betapa besar Cintanya Nabi Ibrahim kepda Allah mengalahkan cintanya kepa yg lain.
BalasHapusSemoga mamamu bisa sembuh juga ya mba... Ini reminder jg utk aku, kalo slama ini jg kurang banget dlm mengingat allah. Kita slalu gampang ngucapin syahadat, tp kenyataan, allah slalu jd yg kesekian kalo udah berhadapan ama hal2 duniawi :(
BalasHapusJangan lupa berkomentar ya, tinggalkan alamat blognya biar bisa balik berkunjung.
Terima Kasih.